Us

Ibuku adalah wanita yang kuat. Mungkin frasa itu sudah digunakan oleh jutaan anak di luar sana untuk menggambarkan betapa luar biasanya orang tua mereka. Pada tahun 2004 silam, berbekal pengalaman yang tidak seberapa, ibu dan ayahku resmi menjadi orang tua untuk pertama kalinya. Tangisan bayi yang kelak diberi nama dengan makna “bijaksana” itu menggema di tengah ruang bersalin, memudarkan suasana menegangkan yang sebelumnya tercipta sebab tangis itu mengindikasikan bahwa bayi mungil tersebut hidup dan akan memulai kehidupan barunya. Wanita yang kelak aku panggil ibu itu pun untuk pertama kalinya mendapatkan sebutan “Ibu” dari seorang gadis kecil yang orang-orang bilang mirip sekali dengan ayahnya. Namun, takdir menuliskan sebuah rencana besar dalam cerita hidup kami. Delapan tahun kemudian, tiga hari sebelum ulang tahun pernikahan mereka yang kesembilan tahun, ayahku berpulang. Nyatanya, orang terdahulu benar bahwa cinta tidak akan membuat seseorang hidup selamanya.

Setiap malam, beliau meyakinkanku bahwa Tuhan sangat menyayangi ayahku, maka Dia membawanya kembali. Ibuku bilang bahwa sejak awal segala yang kita miliki adalah milik Tuhan dan meskipun begitu, Tuhan akan menggantikan apapun yang pergi dengan sesuatu yang lebih baik. Tentu saja aku percaya, ibuku tidak mungkin berbohong. Sematan “Wanita Kuat” dan “Wanita Panutan” bukan semata-mata diberikan kepada ibuku hanya karena beliau adalah seorang “Ibu”, tapi juga karena bagiku, hanya orang terkuat yang berusaha menenangkan orang lain ketika kedua matanya sembab oleh air mata. Dan hanya seorang panutan yang akan cukup berani untuk memulai semuanya dari awal dan kembali berdiri dengan kedua kakinya sendiri ketika terpuruk begitu dalam hingga nyaris tenggelam.

Saat masih duduk di Sekolah Dasar, ketika ibuku mengatakan bahwa ia bisa melakukan semuanya sendiri, tentu aku akan serta-merta menarik kembali kedua tanganku dan duduk dengan nyaman di sofa ruang keluarga kami. Namun, ketika aku mulai beranjak remaja-dewasa, aku menyadari bahwa ketika tidak ada satupun yang membantu—meskipun kita sendiri yang menolaknya—terasa sangat melelahkan. Seakan menarik diri sendiri dalam kesepian yang tidak berkesudahan. Jadi, aku selalu berpikir bahwa ibuku juga merasa begitu. Sembilan belas tahun tinggal bersama seorang gadis kecil, aku yakin sekali hingga detik ini ibuku masih berpikir bahwa selamanya aku adalah gadis delapan tahun. Ia sudah terbiasa untuk mendesain dirinya sendiri sebagai seorang pelindung dari dua orang anak perempuannya.

Ketika mentari sudah meluncur ke peristirahatannya, kami seringkali berbincang ringan. Tidak ada topik serius untuk dibicarakan, hanya duduk bersama dan perbincangan akan lahir dengan sendirinya. Hingga suatu ketika, ibuku berkata, “Lakukan apapun yang kamu mau, jangan membatasi diri hanya karena kamu takut meninggalkan ibu sendirian. Lagipula, kamu tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan ibu, kebahagiaan ibu ditanggung oleh Allah, jadi kamu jangan terlalu khawatir.” Saat itu, aku hanya tertawa ringan seakan itu hanyalah obrolan ringan biasa seperti yang sering kami lakukan. Seakan-akan perkataan itu hanya lewat dan kemudian kami lupakan. Tapi malam itu, kalimat ibuku tidak hanya merasuk dalam telinga tapi juga ke dalam hati. Menolak untuk pergi seakan itu adalah kalimat yang mengisi relung hati.

Meninggalkan ibuku adalah hal terakhir yang aku lakukan. Bahkan tidak pernah terbersit di pikiranku untuk meninggalkannya karena aku telah berjanji untuk menjaganya, melindunginya dengan kedua tanganku sendiri. Tapi, yang tidak aku ketahui, aku tidak bisa melindungi orang lain hanya dengan menggunakan kedua tanganku. Aku juga mungkin tidak bisa melindungi orang lain bahkan ketika aku menggadaikan jiwa dan ragaku, dan ibuku mengetahui hal itu. Maka ia menyerahkan kebahagiaannya pada Tuhan. Karena baginya, memintaku untuk membahagiakannya seumur hidup terlalu muluk. Ibuku adalah panutanku—tidak, ibuku adalah tujuanku. Ketika dewasa nanti, aku harap Tuhan mengizinkanku untuk menjadi kuat dan bijaksana seperti ibuku. Menjadi wanita yang tidak hanya kuat namun juga dapat memberikan kekuatan untuk orang lain. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar selalu menghidupkan ibuku dalam hati dan ingatanku.

Tinggalkan Komentar

Loading
Komentar anda telah terkirim, terima kasih.